bicara tentang inklusi

seperti saran dosen saya dalam rangka membantu pembuatan proposal skripsi, saya akan menuliskan sebuah permasalahan yang sedang saya pikirkan.

Kemarin ketika saya izin PLP, saya mengisi apel pekan mingguan di SMA Lazuardi. Ini adalah kedua kalinya saya diundang kesana. Alasan saya diundang sama, karena terjadi "keisengan" terhadap anak berkebutuhan khusus disana. Panggilan yang terakhir ini sekedar untuk "mencharge" ingatan mereka.

Karena panggilan inilah saya mendapatkan ide untuk penelitian skripsi.

Begini ceritanya...

Saat ini, berdasarkan peraturan pemerintah, sebuah sekolah memiliki kuota tertentu *yang saya belum berhasil mengingat* untuk menerima anak berkebutuhan khusus. Di Indonesia, sudah ada beberapa sekolah yang menjalankan kebijakan ini. Kebijakan ini biasa disebut sebagai Sekolah Inklusi, atau sekolah yang ramah. Saya bahagia dengan keadaan ini. Saya bersyukur karena anak berkebutuhan khusus diperbolehkan untuk sekolah di kawasan yang sama bahkan kelas yang sama dengan anak-anak lainnya. Akan tetapi, sekolah inklusi bukan sekedar menerima anak berkebutuhan khusus. Sekolah inklusi juga bukan sekedar membaurkan anak berkebutuhan khusus dengan "anak normal". Sekolah inklusi adalah sekolah yang ramah terhadap semua siswanya. Secara kurikulum, fasilitas, dan laiin-lain, baik untuk anak berkebutuhan khusus maupun yang "normal".
Ketika saya sharing di SMA Lazuardi, saya katakan pada adik-adik kelas itu,
bahwa sebenarnya semua siswa, semua orang, memiliki kebutuhan khususnya masing-masing.
Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam belajar, memiliki kemampuan yang berbeda-beda terhadap mata pelajaran tertentu. Anak yang sangat mahir dalam TRIGONOMETRI belum tentu juga mahir dalam ALGORITMA walaupun sama-sama matematika. Sama halnya anak yang mahir dalam Bahasa Inggris belum tentu mahir dalam Bahasa Jawa, Matematika, Bahasa Indonesia, dan lain-lain. Setiap orang memiliki kekhususannya masing-masing, karena itulah PENDIDIKAN INKLUSI seharusnya ada untuk mendukung masng-masing kemampuan anak, dan meminimalisir kekurangannya.

Tapi apa yang saya bicarakan adalah sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan, walaupun bukannya tidak mungkin.

Salah satu dari proses berjalannya pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus adalah teman-teman yang ramah. Selama ini kebanyakan penelitian dan wacana selalu membicarakan pendidikan inklusi dari segi anak berkebutuhan khusus. Tapi bagaimana dengan teman-teman mereka? Bagaimana sebenarnya sikap siswa lain terhadap keberadaan teman mereka yang terlihat berbeda? Jika ternyata keberadaan anak berkebutuhan khusus dilingkungan mereka justru dijadikan bahan tertawaan, ejekan dan membuat teradinya bullying di sekolah, bukankah itu berarti pendidikan itu sama sekali tidak ramah dan justru menggeser prinsip sekolah inklusi? Bukankah harapan orangtua ketika memasukkan anaknya ke sekolah reguler adalah agar anaknya mampu berbaur, berteman, dan bersosialisasi dengan teman-temannya yang "tidak berkebuthan khusus"?
Sejauh ini yang sering saya lihat, pada jenjang sekolah dasar, anak berkebutuhan khusus diperlakukan dengan baik, mereka justru sangat dilindungi dan disayangi oleh teman-temannya. Tapi bagaimana dengan di sekolah menengah, ketika remaja pada umumnya mulai mencari peer group yang dapat membuat mereka populer, atau peer group yang "asik diajak main*. Apakah anak berkebutuhan khusus masih akan diajak?

Makanya.. saya akan mengangkat skripsi tentang penerimaan anak berkebutuhan khusus di sekolah menengah. Apakah keberadaan mereka disana sesuai dengan harapan orangtuanya? Apakah keberadaan mereka disana membantu mereka dalam bersosialisasi?

0 Response to "bicara tentang inklusi"

Post a Comment