cura hati

ingatkah engkau saat itu, pertama kali kita bertemu? dan aku yang biasanya hanya diam bicara panjang. Hari itu aku merasa bebas dan ingin bicara tanpa peduli apakah orang mengerti atau tidak. Karena disana semua kakak-kakakku. Kandung atau mendung. Hari itu kita memperdebatkan rokok, sisi positif dari rokok bisa dicari di objek yang tak merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebuah poin: aku takkan membawakan sebungkus rokok padamu. Tapi kau bebas-bebas saja berkhayal.
Saat aku sedang menikmati jalan, terkadang aku tiba-tiba diam. Lalu aku merasakan serangan sesak yang luar biasa hingga aku pusing. Setelah itu biasanya aku duduk, membiarkan darahku berjalan kembali lancar. Aku tahu, pasti sesak itu datang karena pikiran yang selalu menggerayang saat aku jalan. Saat jalan aku selalu ingin sendiri, tapi pikiran membuntuti. Tak apalah, itu waktu aku untuk menyelesaikan masalah. Nah, pagi ini, tanpa berjalan aku sesak. Padahal aku sudah dalam posisi duduk, darahku tak lancar karena sesak. Apakah aku kemudian harus berdiri? sepertinya tidak. Aku takut aku pingsan kalau aku berdiri. Lalu kupandangi saja benda. Aku semakin sesak dan sesak. Hingga akhirnya aku berdiri dan lari keluar. Aku butuh udara segar. Setelah selesai aku kembali duduk di tempat asalku. Melihat lagi benda. Masih sesak namun tak menganggu. Gambar apa itu? Apakah aku? Kupandangi lagi... lagi... lagi. Kubaca semua yang ada di sekitarnya. Sungguh, aku tersanjung walaupun kau tak berusaha melakukan itu. Tapi aku takut. Aku ketakutan. Aku ketakutan hingga aku terus terpaku di gambar. Aku sama sekali tak bisa mencerna semua tulisanmu. Semuanya, yang tentangku dan yang bukan tentangku. Maaf tapi aku memang ketakutan.
Masih ingatkah kau pertama kali kita bertemu? Berikn padaku tanggal pasti. Hari apa itu? Tanggal berapa itu? Katakan padaku. Berapa lama kita sudah saling mengenal? Lalu lintasan memori terpampang di benak. aku menonton memoriku. ada suara flashback. Kemudian hari itu. Aku yang tertawa dan gemas karena kesulitan menjelaskan. Sepertinya hanya 14 hari yang lalu, kalau aku tak salah? Mengapa bisa terjadi padamu semuanya?? Kemudian aku ingat. Itu adalah intensitas yang memaku. Mengapa aku? Selalu saja aku bertanya. Kemudian aku merasa bersalah lagi, seperti biasanya. Terlebih hari ini. Lalu seperti biasanya aku akan berpikir untuk pergi. Jika melihat kedalam hatiku, aku tak mau. Aku merasa semua yang ada sangat menyenangkan untuk kita. Aku berbagi, kadang engkau berbagi.
Banyak hal yang bisa kita bicarakan karena pikiran dan kesukaan yang sama.
Tapi aku tak mau, kalau semua itu justru mencekik pada akhirnya. berhentilah mencintaiku,
karena aku merasa harus pergi jika kau tetap berharap. padahal aku tak mau pergi...

puisi dan hati

datanglah kepadaku membawa sebuah puisi murni yang indah. Bentuklah puisi itu seperti hatimu. Apakah itu remuk, apakah itu utuh. Apakah itu merah atau hitam. Bisa saja hatimu basah karena luka, atau bisa saja kau sudah sempat mengeringkannya. Terserah engkau, karena aku selalu menghargai hati dengan nilai tinggi. Dan aku selalu suka puisi. Datanglah padaku satu per satu. Siapa tahu aku akan tersenyum dan memelukmu.

Aku takkan memilih karena hati dan puisi selalu berbeda,
tidak bisa dibandingkan. Datanglah dengan puisi yang belum pernah kudengar. Puisi dari hatimu yang mungkin pernah kusentuh, atau tidak.

Setelah ada puisi dan sebentuk hati, aku akan mengelusnya dengan hati-hati melalui puisiku sendiri. Kemudian aku akan disana, mungkin selamanya. Tapi pasti, sampai engkau ingin aku ada. Aku tak pernah benar-benar pergi dari suatu. Seringkali aku hanya singgah dan menyapa. Tapi, aku selalu kembali ke tempat-tempat yang pernah kusentuh.

datanglah padaku membawa sebuah puisi. Bacakanlah padaku lantang, kemudian duduklah diam di sebelahku. Kita merenungi apa yang terjadi. Mungkin akan kuberikan padamu sebuah hati, atau bisa juga puisi lagi.