Unspoken conversation


Kamu seperti orang yang haus cinta. Selalu menanyakan padaku apakah aku mencintaimu. Kemudian kamu akan bertanya apa arti cinta untukku. Kamu juga akan bertanya apakah aku lebih sayang atau lebih cinta kepadamu, atau apakah aku hanya merasakan salah satunya. Kamu juga akan bertanya apakah aku merasa terganggu dengan keberadaaanmu. Apakah kamu merasa tidak dicintai?



Aku selalu merasa ada yang salah denganku. Aku juga tidak pernah bisa menebak apakah kamu mencintaiku atau tidak. Karena aku tidak merasakan cintamu, tapi aku menolak frasa di otakku bahwa kamu tidak mencintaiku. Aku selalu merasa kalah oleh hal-hal disekitarmu. Aku bukanlah orang yang pantas untuk kau perjuangkan, karena sejak awal kau tidak preƱa berjuang apapun untuk mendapatkanku. Semuanya lancar-lancar saja. Dan aku merasa kau berpikir bahwa aku adalah orang yang menyebalkan.
Sehingga kata-kata menjadi sangat penting bagiku. Aku butuh merasa lega saat kau ucapkan kata cinta. Tapi kata itu tidak pernah tersebut dari bibirmu.

meracau

beberapa hari belakangan, saya merasa kangen sekali sama blogging. Tapi sadly ngga pernah ada waktu yang pas karena pekerjaan saya yang lagi sibuk-sibuknya... Jadi setiap pagi di ojek saat berangkat ke kantor, saya semacam menulis blog tapi di pikiran saya, yang kemudian dengan menggunakan sugesti saya publish ke awan.. kemudian seketika menjadi lega. Enak juga kalau bisa seperti itu tapi tetap tidak sepuas benar-benar menulis.

Dalam pernikahan saya yang belum juga di karuniai anak, selalu ada momen dimana kami berdua sama-sama terdiam dan merasakan perasaan yang entahlah apa namanya. Untuk saya lebih banyak perasaan bersalah dibandingkan kecewa entahlah bagimana dengan abang. Masa itu adalah ketika kami baru pulang dari dokter dan mendapatkan hasil yang masih juga mengecewakan.

Kunjungan terakhir saya ke dokter tidak bersama abang, saya bersama kakak dan musa. Saya berangkat setelah maghrib dari rumah dan baru sampai jam setengah 11 malam, saya yang menyetir, untuk pertama kalinya menyetir dalam tol dan sebenarnya kepergian saya tanpa abang, dan perjalanan dimana saya harus konsentrasi pada jalanan, sangat membantu saya menutup kesedihan dan lebih melihat semuanya dengan kesempatan-kesempatan. Kesempatan bagi saya untuk lebih mendekatkan diri padaNya, kesempatan lebih banyak mempelajari karakter anak didik saya, kesempatan menambah ilmu, kesempatan belajar mencari jalan tengah sama abang daan lain-lain.
Tapi hari ini ternyata masa suram yang tadi saya ceritakan datang.
Ketika kami harus membeli obat yang tidak murah, again.

Saya merasa bersalah karena gara-gara menikahi saya yang infertil, abang jadi harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Padahal kami bukan orang kaya.
Bulan ini saya diberikan resep baru, obat yang kata dr. djoko lebih ampuh dibandingkan profertil dan ovastin. Namanya Femora. Saya bersyukur karena obat hormonnya cuma 2, biasanya 3 (provera, profertil dan ovastin) . Sekarang hanya provera dan femora.
saya telfon apotik langganan.

Provera 10.500 per kapsul (berarti total 105rb, femora 65ribu. Saya bersyukur karena tidak semahal yang saya bayangkan. Saya titipkam uang 200ribu pada ayah yang kebetulan mau ke apotek.

Saya tunggu ayah pulang karena provera nya harus diminum sekarang, hampir saja saya tertidur ketika ayah telfon dan mengatakan bahwa femora harganya 65ribu PER KAPSUL. Artinya saya membutuhkan uang 650ribu.

Kakak saya langsung mengatakan untuk mengikhlaskan. Saya langsung terbayang jika ternyata ini tidak berhasil, opsi selanjutnya yang disarankan dr. djoko adalah laparoskopi yang kemudian saya cek di internet biayanya sampai dengan 30 juta.
Kalau punya uang segitu saya sudah beli rumah dari dulu.

hmph... saya down sekali, dan lebih down lagi karena ini semua tentang uang. Saya bukan orang yang biasa memikirkan uang karena saya selalu berusaha mencukupi diri saya dengan barang-barang yang murah. Dengan uang yang pas-pasan saya masih bisa mentraktir makan dua orang teman saya yang tidak mampu setiap harinya. Saya selalu mengambil prinsip ibu, yang tidak terlalu banyak perhitungan.

kenapa sekarang semuanya jadi tentang uang? apakah karena sekarang saya adalah seorang istri, dan bukan lagi anak?

Saya kemudian ingat dan terbayang-bayang SEMUA ekspresi wajah dan kalimat orang-orang terhadap kami.
"belum punya anak ya bu afifa? oo,.. lama juga ya" insensitive
ngga perlu lah saya sebutkan basa-basinya berbagai macam orang dari mulai yang tidak sensitif seperti di atas sampai yang lugu seperti "jangan lama-lama kosong nya... pengen tau anaknya seperti apa, penasaraan..."

dan memang sepertinya hanya diri saya sendiri yang bisa menghilangkan rasa sedih ini. Karena saya selalu bisa membantah saran dari orang lain.