trash

saya baru saja menghapus inbox email dari apa-apa yang bisa mengganggu kalau dibaca lagi.

dan saat ini saya benar-benar ingin muntah.
Pusing dan sama sekali tidak ingin berangkat kerja.

hiks

10:37:00 am tulisan aF^^ 0 anotasi
sementara mereka maju, saya masih disini saja, meralat apa yang ada, memperbaiki terus menerus, tapi tak juga pernah maju. Tak juga berhasil melangkah. Saya sangat ingin untuk maju, tapi sulit sekali menyingkirkan batu-batu yang menghalangi.
bolehkah saya membakarnya? karena saya tak mungkin mundur.

saya mulai kehilangan semangat lagi...
saya mulai menangisi kegagalan lagi...

memaafkan diri sendiri

malam ini saya membaca blog lama saya dan menyadari bahwa:

saya belum memaafkan diri saya sendiri

makanya sketsa-sketsa kehidupan itu masih saja sering bermunculan. bagaimana caranya?

the letter

Biarkanlah saya merasa anda sudah mengetahui apa-apa yang terjadi diantara saya dan dia. Non, saya bukan orang yang terbuka tapi saya tidak pernah menutupi apa-apa di jurnal online saya. Biarkanlah saya merasa anda terancam oleh keberadaan saya di masa lalunya. Perasaan terancam pada diri anda membuat saya merasa tentram. Ya, saya tahu betapa kalimat tersebut sangat hitam dan kasar. Biarkanlah, I am a selfish bitch indeed.

Dalam tulisan saya kali ini saya akan ceritakan pada anda bahwa baru saja kemarin saya katakan pada sahabat saya: “ Saya tahu apa yang akan saya katakana adalah kalimat yang bodoh, egois dan tidak berperasaan. Tapi saya cemburu padanya. Antara cemburu dan lega. Perasaan apa ini namanya. Saya bahagia dengan kehidupan baru saya, Tapi hingga hari ini,dibandingkan dengan kisah saya dan pria lain manapun, ia masih tetap bagian terkental dalam aliran darah saya. Bagian dari dirinya masih mengalir dalam diri saya. Waktu luang saya masih dihinggapi kilasan momen dengannya: penting maupun tidak penting. Ia adalah orang yang mampu membuat saya merasa tinggi sekaligus rendah; bahagia tapi juga tidak ingin hidup sekaligus, dan sikapnya yang seperti itulah yang selalu membuat saya selalu kembali kepadanya. Ia tidak pernah memuji-muja saya seperti pria lain, tidak pula menjunjung saya seperti pria lain, dan semua itulah yang membuat saya percaya bahwa ia nyata. Saya pernah mencintainya dalam keadaan tidak ingin bersamanya. Cinta macam apa itu. Cinta adalah perasaan yang sudah seharusnya tidak dicampuradukkan dengan terlalu banyak logika, tapi itulah yang kami lakukan.

“Saya mencintaimu walaupun seharusnya tidak. Saya tidak ingin mencintaimu. Saya tidak ingin merinduimu.” Begitulah sampai pada akhirnya kami tak pernah lagi menyatakan perasaan kami karena sama-sama merasa ketakutan. Cinta kami selalu disembunyikan dalam kotak teriakan. Dunia kami saling menolak kehadiran masing-masing. Tapi lihatlah semua itu terrangkai dalam cerita yang tak akan terlupakan, menyakitkan tapi juga membahagiakan diri saya. Hitam tapi elegan. Tidak ada bercak, hanya ada rasa sakit hati yang tulus. Perasaan yang tak akan pernah sama.

Tahukah non, tak pernah ada niat menyakitinya begitu sempurna. Tapi saya tak tahu lagi apa yang bisa saya lakukan. Cepat atau lambat perasaan sakit itu akan dating, saya harus menerima kenyataan bahwa kami tak akan pernah bisa bersama. Saya tidak punya kekuatan yang cukup untuk menyakiti orangtua saya. Saya tak bisa lagi berlama-lama membiarkan hati kami terus terbuka dalam keadaan sakit. Lebih baik sekaligus saya matikan penyambung nyawa kami agar tidak selalu berada dalam keadaan koma. Lebih baik kami mati sejenak dan segera merasakan kehidupan yang baru, dalam kebahagiaan maupun kesengsaraan. Semua itu mendadak memang. Apa yang akan kau lakukan jika berada dalam posisi seperti saya?

Selama satu tahun bahagia hidup tapi juga dibayang-bayangi waktu kematian yang semakin mendekat. Kebahagiaan itu tidak nyata. Saya terus menerus memupuk harapan bahwa suatu hari saya akan bersama walaupun saya juga tahu bahwa itu tidak mungkin. Setidaknya, tidak mungkin untuk saat ini. Jika memang Tuhan memberi takdir untuk kami bersama, pasti suatu hari kami akan dipertemukan kembali. Tapi pada saat itu, saya cukup yakin langkah yang saya ambil adalah langkah yang cukup benar, selama 1 jam sudah saya bersujud dan memohon kelapangan hati bagi kami berdua.

Lapang itu kemudian memang saya dapatkan. Tapi untuk menyembuhkan luka yang sudah satu tahun terbuka, dan bertambah besar, membutuhkan waktu yang cukup lama. Godaan untuk bertemu dengannya sangat besar, dan air mata saya terus memaksa untuk keluar.

Perasaan besar saya terhadap dirinya kemudian saya tumpahkan pada seorang anak yang sangat saya sayangi. Anak kecil yang selalu membututi saya di lokasi kerja. Melihat anak itu saya selalu ingat dirinya.

Non, sejak saya membaca tulisan anda, tidur saya tidak nyenyak. Saya selalu terbangun dalam keadaan kaget. Mimpi dikagetkan dengan teriakan, tiga kali berturut-turut. Entah mengapa. Padahal saya yang selalu membuntuti aktifitas anda, biasanya merasa lega –walaupun diiringi sesak- karena merasa anda membuatnya bahagia, jauh lebih baik daripada saya. Anda bisa menemaninya bersama teman-temannya, bahkan anda merasa nyaman berada dekat teman-temannya; sedangkan saya tidak suka teman-temannya. Anda bisa menemaninya pergi ke konser-konser; sedangkan saya tidak suka keramaian, juga tidak pernah punya kesempatan. Anda menyayangi kucing-kucingnya; sedangkan saya selalu menendang kucingnya jauh-jauh.

Setiap kali saya ke kota itu, saya selalu berharap menemukan anda berdua dengannya. Saya ingin melihat langsung kebahagiaan itu walaupun kemudian saya akan mendapatkan hantaman besar di seluruh tubuh dan organ saya. Saya menikmati rasa sakit, dan rasa sakit semacam itu yang akan membuat saya merasa hidup, bahwa saya memang ada. Makanya saya selalu membaca kehidupan anda, agar saya sempat merasakan sakit walaupun sedikit.

Melihat anda bersama dengannya membuat saya bahagia walaupun cemburu.

Maaf kalau saya terlalu panjang berbicara, membicarakan sesuatu yang mungkin tidak anda tanya. Tapi tidak anda tanya pun, saya tetap akan bercerita: demi diri saya sendiri. Saya harap anda mendapatkan akhir bahagia yang anda inginkan. Kebahagiaan seperti yang pernah saya harapkan bersamanya, dalam angan-angan dan khayal kami, bahkan lebih baik dari itu.

awal tahun yang sunyi

Aku kehilangan ikatan dengan hujan. Bahkan beberapa kali aku berdecak kecewa ketika hujan turun. Setiap kali itu terjadi, aku merasakan galau yang luar biasa di malam harinya.

Malam ini aku membungkan bibir, menggelapkan pengelihatan, menyumbat kedua kupingku untuk waktu yang cukup lama. Aku tak ingin terganggu. Setelah melakukan berbagai kewajibanku, aku langusng masuk kamar. Memasang nyawa melankolisku kembali: Ari-Reda dengan Musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, dan kalimat-kalimat Ia yang sempurna di hati ku.

Keramaian tadi malam membuatku merasa hilang. Seperti biasa, aku dan keramaian bukanlah komposisi yang tepat. Seperti mencampur adukkan racikan teh yang sudah sempurna. Seperti meminum kopi dengan air yang kurang matang. Tidak lagi dapat dinikmati, dan efek semua itu baru terasa ketika semuanya sudah terjadi.

Aktifitasku akhir-akhir ini, sungguh memperkosa imajinasi. Aku tak lagi punya kesempatan untuk sendiri dan melihat gambar apa yang awan berikan padaku hari ini. Ada cerita apa dibalik wajah orang di depanku. Tak ada semua itu. Aku ingin berlibur, tanpa perlu basa basi. Tanpa perlu banyak bicara.