PLP, hari 16

saat ini saya sedang melakukan Praktek Latihan Profesi (PLP) di SLB dekat tempat tinggal saya di Bandung. Sejak hari kedua saya berada disana saya berniat untuk menuliskan apa saja yang saya dapatkan disana. Entah menuliskannya di Blog atau menuliskannya di Diary.. hari ini hari ke-16 saya berada disana. 1x Praktek mengajar terbimbing, 3x observasi penuh di kelas, 2x berolahraga bersama, 1x mengajar upacara (yang sudah tidak saya lakukan selama 7 tahun). Sepertinya itu saja.. ada beberapa hal yang saya dapatkan selama 16 hari yang saya jalani dengan perasaan berat hati:

1. Tekad bulat saya untuk tidak mengajar di SLB semakin bulat. Saya sama sekali tidak suka dengan bagaimana sistem pembelajaran di SLB menghabiskan waktu keceriaan anak-anak. Saya tidak setuju dengan bagaimana anak berkebutuhan khusus dipaksa belajar algoritma, prisma, jenis-jenis perubahan energi listrik, reformasi pemerintahan Indonesia. UNTUK APA? Untuk anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus pun seharusnya pendidikan lebih ramah, lebih disesuaikan dengan minat dan bakat masing-masing anak. tapi lagi-lagi semua sekolah terbentur dengan kebijakan pemerintah yang menurut saya tidak bijaksana.
Mereka semua bisa saja katakan saya adalah bocah yang lulus s1 saja belum. Tidak seharusnya saya berkata seperti ini. Tapi saya cukup yakin banyak orang yang akan mendukung saya. dan sebagai pelajar ini lah yang saya rasakan. PENDIDIKAN YANG SAMA SEKALI TIDAK RAMAH, dan sejujurnya membuang waktu.

2. Ada 2 orang siswa yang tidak bicara sama sekali. Mereka ditempatkan di kelas AUTIS. Siswa Pertama, perempuan, bernama E, ia selalu duduk di pojok kelas, sesekali tertawa. Belum ada yang bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Kami hanya tahu bahwa sebenarnya ia mendengar dan mengerti apa yang kami bicarakan, tetapi tidak bisa merespon. Gurunya katakan ia menjadi seperti ini sejak ia terlambat diintervensi ketika terserang penyakit thypus. saya membatin *E bukan penyandang autistik*.
Siswa satu lagi, laki-laki, T, tidak bisa duduk di kursinya sama sekali. Yang ia lakukan hanyalah mondar-mandir di dalam kelasnya, ia suka mengatur banyak hal. Terkadang buku dalam rak kelas ia keluarkan dan ia atur kembali. Saya pikir ia memang autistik, salah satu karakter anak autistik adalah menyukai keteraturan. Tetapi saya lihat ketarurannya tidak seperti anak autistik lain yang saya perhatikan. Tapi saya diam saja karena autisme adalah sebuah sindrom yang kompleks dan berbeda pada setiap kasus. Dan saya baru bertemu dengannya 2x jadi saya tidak berani mengambil keputusan apa-apa. Kemudian gurunya bercerita, T menjadi seperti itu sejak jatuh dari tangga dan sempat koma 2 bulan. Saya membatin *T bukan penyandang autistik*.

dari cerita ini saya sedih, karena mereka melabel. Tapi baiklah, tidak apa-apa karena ternyata gurunya cukup bijaksana dengan tidak memaksakan mereka untuk belajar hal-hal yang tidak penting. Gurunya, yang saya anggap guru paling pintar di SLB tersebut membuatkan kurikulum khusus untuk mereka berupa program kemandirian. Kepala Skeolah memaksanya untuk tetap membuat kurikulum standar dari pemerintah. Ia membuatnya demi formalitas, tapi tidak menjalankannya.

3. Ternyata kata mereka saya terlalu lembut untuk mengajar anak berkebutuhan khusu. Saya bilang dalam hati, saya mungkin kurang tegas, saya akan mengubah itu. Tapi saya tetap ingin menjadi guru yang lembut dan tidak berteriak-teriak pada mereka.

Tulisan ini saya tuliskan bukan untuk menjelek-jelekkan SLB tempat saya PLP, saya merasa cukup betah disana dan saya menyayangi semua murid disana. Saya hanya ingin mengutarakan apa yang ada dipikiran saya.
Saya juga ingin mengingat ini semua sampai nanti ketika saya sudah menjadi tenaga profesional. Agar idealisme saya tetap terpelihara dan saya tidak menjadi bagian dari orang-orang yang saya bicarakan diatas.

semoga pemerintah atau siapapun itu yang menyusun "kurikulum standar" untuk anak berkebutuhan khusus segera tersadar bahwa apa yang mereka lakukan sama sekali tidak mendukung anak berkebutuhan khusus untuk bekerja ketika mereka dewasa.


*anak berkebutuhan khusus yang saya bicarakan disini adalah anak tunagrahita sedang, karena saya percaya anak tunagrahita ringan masih bisa belajar seperti anak pada umumnya. Mereka hanya membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama dan kesabaran dari guru yang sedikit lebih banyak*

saya ingin melihat anak tunagrahita yang bekerja dan merasa bangga dengan pekerjaannya. Saya ingin pendapat saya terbukti, bahwa mereka pun bisa berkarya dan hasil karya mereka baik. Dan saya akan berjuang keras untuk membuktikan pendapat saya.

tulisan ini saya masukkan dalam label PK (Pendidikan Khusus)

0 Response to "PLP, hari 16"

Post a Comment